Sektor perbankan Indonesia menunjukkan ketahanan yang solid di tengah tekanan eksternal global seperti perlambatan ekonomi Tiongkok, fluktuasi suku bunga Amerika Serikat, dan volatilitas harga komoditas dunia. Keberhasilan ini tidak lepas dari sinergi kuat antara Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) dalam menjaga stabilitas sistem keuangan nasional.
Menurut Laporan Stabilitas Sistem Keuangan (LSSK) Triwulan II 2025 yang diterbitkan Bank Indonesia, perbankan nasional tetap berada dalam kondisi sehat dengan rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) di kisaran 25%, serta rasio kredit bermasalah (Non-Performing Loan/NPL) terjaga di bawah 3%. Capaian ini mencerminkan pengelolaan risiko dan likuiditas yang baik di tengah tekanan global.
Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, menyatakan bahwa kebijakan moneter dan makroprudensial yang akomodatif berperan besar dalam menjaga stabilitas perbankan. “Bank Indonesia memastikan ketersediaan likuiditas di pasar keuangan tetap memadai, sambil menjaga stabilitas nilai tukar dan inflasi agar tetap terkendali,” ujarnya dalam konferensi pers di Jakarta.
Dari sisi pengawasan mikroprudensial, OJK berfokus pada penguatan ketahanan modal dan peningkatan manajemen risiko perbankan. Melalui pendekatan Risk-Based Bank Rating (RBBR) dan penerapan Basel III, OJK memastikan setiap bank memiliki ketahanan yang cukup terhadap potensi gejolak eksternal. Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar menegaskan bahwa “penguatan tata kelola dan manajemen risiko menjadi fondasi penting agar sektor perbankan mampu mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.”
Sinergi kebijakan juga terlihat dalam koordinasi Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) yang beranggotakan BI, OJK, Kementerian Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Forum ini rutin melakukan asesmen terhadap potensi risiko sistemik serta menyusun langkah-langkah mitigasi untuk menjaga kepercayaan publik terhadap industri keuangan.
Kementerian Keuangan melalui kebijakan fiskal turut mendukung stabilitas sektor keuangan dengan menjaga defisit APBN pada level terkendali, memperkuat pembiayaan produktif, serta mendukung pertumbuhan sektor riil. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa “koordinasi antara kebijakan fiskal, moneter, dan sektor keuangan menjadi kunci utama dalam menjaga keseimbangan antara stabilitas dan pertumbuhan.”
Selain faktor kebijakan, peran digitalisasi juga memperkuat efisiensi dan transparansi sistem perbankan. Implementasi BI-FAST dan integrasi data keuangan antar lembaga melalui Satu Data Keuangan Nasional (SDKN) mendukung pengawasan yang lebih cepat dan terukur. OJK juga memperluas penggunaan SupTech (Supervisory Technology) untuk meningkatkan efisiensi dalam pemantauan bank digital dan fintech yang terhubung dengan sistem perbankan nasional.
Meski kondisi perbankan relatif stabil, tantangan tetap ada. Risiko global seperti ketegangan geopolitik, pergerakan suku bunga dunia, dan fluktuasi nilai tukar masih menjadi faktor eksternal yang perlu diwaspadai. Di dalam negeri, peningkatan konsumsi digital dan ekspansi kredit harus terus diimbangi dengan penguatan tata kelola dan keamanan data.
Sebagai langkah antisipatif, BI dan OJK berkomitmen memperkuat koordinasi lintas lembaga, meningkatkan pengawasan risiko sistemik, serta memperluas edukasi publik mengenai stabilitas sistem keuangan. Langkah-langkah tersebut diharapkan mampu menjaga kepercayaan masyarakat dan mendorong sektor perbankan untuk tetap menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi nasional.
Dengan ketahanan yang terus terjaga dan dukungan kebijakan yang solid, sistem keuangan Indonesia dinilai siap menghadapi berbagai dinamika ekonomi global. Sinergi antara BI, OJK, dan Kemenkeu menjadi bukti nyata bahwa stabilitas keuangan adalah hasil dari koordinasi yang konsisten, kebijakan berbasis data, dan pengawasan yang adaptif.